Minggu, 31 Agustus 2014 | 20:25 WIB
PBB mencatat lebih dari 17.000 rumah di kawasan Jalur Gaza hancur dan rusak akibat serangan Israel sejak 8 Juli lalu.
KOMPAS.com
- Ketika TV mempertontonkan onggokan-onggokan tanah, beton, dan
potongan tubuh manusia yang ”dihasilkan” bom Israel di Gaza atas nama
”hak membela diri”, aku —agar tak muak dan membenci—memanggil di benakku
kenangan masa kecil tentang seorang tua yang kadang mengunjungi rumah
kami untuk berdiskusi entah tentang seni ataupun sastra.
Orang
itu, dr Seidel, mempunyai rahasia yang, pada suatu hari berawan gelap,
dibisikkan serius oleh ibuku: ”Jean, lihatlah di pergelangan tangannya,
tertera satu nomor, nomor statistik Maut, yang tak pernah lupa ditato
kaum Nazi pada orang yang bakal digasnya.” Ya! Dr Seidel ada salah satu
di antara sedikit sekali tawanan kamp Nazi yang berhasil luput dari
maut. Al Maut hampir-hampir merangkulnya hanya karena ”ras”-nya sebagai
seorang Yahudi.
Pada satu hari, saya lupa apakah usai membaca
Thomas Mann atau Goethe, aku mendekatinya, ingin tahu: ”Monsieur
Seidel,” tanyaku polos, ”apakah Anda kini masih membenci orang Jerman?”
Dia menatap aku lama, mengerutkan dahi, lalu berkata sedih, ”Bagaimana
bisa? Penderitaanku telah membawakanku ke medan derita dan kasih sesama,
bukan ke ranah kebencian….” Aku tertegun, haru.
Kini dr Seidel
bersemayam di bawah batu nisan berbintang David di pinggiran kota Paris.
Jauh dari Tanah Suci yang konon dijanjikan Tuhan kepada kaumnya. Tanah
Suci yang didambakannya sejatinya ialah negeri damai impian kaum
humanis.
Di dalam sikapnya, dr Seidel, secara sadar ataupun
tidak, bersikap sebagai pewaris dari tradisi Yahudi lama. Selama 2.500
tahun, apakah di pengasingan di Babilonia (536 SM), di rantauan Lautan
Tengah seusai dibantai tentara Romawi (tahun 76 M), atau di kota-kota
Jerman di mana dijarah dan dibunuh tentara Perang Salib (abad ke-12);
apakah sebagai patih di Cordoba atau tukang sepatu di Lituania, tak ayal
di mana pun orang Yahudi berada, di situ pun terdapat pula rabi
(pendeta) dan yeshiva (sekolah agama) yang mendamba-dambakan suatu
Jerusalem yang tak mungkin nyata: Tanah Suci mistis kaum lelana papa.
Setelah
Revolusi Perancis (1789), segala diskriminasi hukum perihal agama,
etnisitas, dan status sosial dihapuskan. Serta-merta keluarlah
orang-orang Yahudi dari gheto-ghetto-nya untuk menjadi ”warga negara”
setara. Mereka sudah siap secara intelektual: di dalam tafsirnya atas
Alkitab, yeshiva klasik telah mengembangkan retorik analitis dan logik
yang tajam.
Maka tak mengherankan bila siswa yeshiva brilian,
tapi bosan agama, kerap menjadi filsuf. Dari pertemuan mereka dengan
pikiran zaman mengalirlah sumbangan-sumbangannya pada upaya humanistis
”universal” modern—dengan tokoh-tokoh seperti Marx, Heine, Mandelsohn,
Proust, Durkheim, Freud, dan Einstein.
Namun, sejarah mengintai
dalam bentuk baru: nasionalisme, yang kadang manusiawi, tetapi kerap
juga menjadi monster pemangsa manusia. Pada abad ke-19 muncullah
kelompok Yahudi yang tidak lagi menginginkan Jerusalem yang simbolis,
melainkan Jerusalem yang harfiah. Bukan lagi Tanah Suci surgawi, tetapi
tanah migrasi bernama Israel.
Deklarasi Balfour (1917) dan
keruntuhan kuasa Ottoman atas Timur Tengah (1918) membuka peluang untuk
itu. Sejarah kemudian berlalu: Holocaust dari jutaan orang Yahudi oleh
kaum Nazi semasa Perang Dunia II (1939-1945), migrasi sisa orang Yahudi
ke Palestina/Israel (1945-), pendirian negara Israel (1947), perang yang
mengganti perang, teror yang tak berkesudahan. Hingga tadi, ketika aku
menonton di TV onggokan-onggokan adonan beton dan tubuh manusia.
Alhasil,
kebanyakan orang Israel kini menganut ragam nasionalisme yang tak
kurang mutlak daripada nasionalisme Jerman awal abad ke-20, yang dibayar
sedemikian mahal oleh kaumnya. Tak kurang penting, tradisi
spiritual-humanis universal yang dipegang selama 2.000 tahun oleh orang
Yahudi—yaitu kepercayaan simbolis akan suatu Jerusalem ideal nan
manusiawi—telah dikhianatinya dan terancam musnah. Buktinya di Gaza.
Sementara
ini, tak jauh dari Jerusalem, terdapat kelompok yang tidak lagi
menginginkan suatu khalifah simbolis, melainkan juga suatu khalifah yang
”nyata!”
Tetapi mungkin itu terjadi karena nun jauh di sana,
banyak warga Amerika meyakini negaranya sebagai wujud nyata dari Tanah
Suci yang dijanjikan—Jerusalem yang baru. Astagfirullah!
sekilas info dan terima kasih
SUMBER: KOMPAS_Gaza dan Jerusalem Simbolis
Gaza dan Jerusalem Simbolis
Posted by Jendela ilmu Anak Jatilawang on Minggu, 31 Agustus 2014
Blog, Updated at: 06.50
0 komentar:
Posting Komentar